Kamis, 09 Februari 2012


Judul                           :  Laskar Pelangi
Pengarang                 : Andrea Hirata
Penerbit                      : Yogyakarta , PT Bentang Pustaka
Halaman novel         : 534
Warna cover              : ungu
Tahun terbit               : 2005
Edisi                              : ke-3 , Juli 2007
Amanat                       : Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat mengambil beberapa pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-
benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak
pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak
mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak
menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh Lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.

Sinopsis :
Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitong. Anak orang-orang kecil ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu beda dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Pagi ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah di                SD Muhammadiyah. Namun murid yang datang hanya 9 orang. Mereka adalah Trapani, Syahdan, Harun, Borek, Kucai, A Kiong, Sahara,  Lintang dan Ikal. Kejadian ini membuat Bu Mus resah dan anak-anak menjadi cemas. Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima menit dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat di cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini. Akhirnya, waktu sudah pukul sebelas lewat lima menit dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Ketika Pak Harfan mengucapkan Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu. Ternyata ada satu tambahan murid lagi yang bernama Harun, sehingga                             SD Muhammadiyah tidak jadi ditutup. Murid SD Muhammadiyah pun genap sepuluh anak.
Ibu Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Umumnya Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan kemiripan. Ikal dan Lintang sebangku karena mereka sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Borek sebangku dengan Kucai, karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Sahara sebangku dengan Harun dan Syahdan sebangku dengan A Kiong.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak K.A. Harfan Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor  dan ibu guru muda,            N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid , yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumatera Selatan karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak  yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan 15 kg beras setiap bulan , sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu. Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya.   Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para “Laskar Pelangi”.
Jumlah orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, Hokian, Tongson, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitif yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di Pulau Belitong. Laksana the Tower of Babel-yakni Menra Babel, metafora tangga menuju surga yang ditegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambangan kemakmuran 5.600 tahun lalu. Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong. Kekayaan yang lain adalah PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploitasinya tak terbatas.
Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan yang bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta.
Tak disangsikan, jika di zoom out, Pulau Belitong adalah pulau terkaya di Indonesia. Inilah pulau tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras.
Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Berbeda sekali dengan sekolah kampung. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.
Filicium decipiens bias ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk dauunya cekung sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Lebih dari itu, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri. Konfigurasi ini menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik yang diciptakan untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Dengan adanya pohon-pohon itu, menyebabkan terjadinya interaksi antar anak-anak “Laskar Pelangi” dengan burung ungkut-ungkut.
Lintang dan Syahdan adalah anak seorang nelayan yang miskin. A Kiong , siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di            SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak kemana-mana. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Namun Kucai adalah orang paling optimis dan memiliki network yang luas. Trapani adalah maskot kelas. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat tiga. Lalu ad Sahara, satu-satunya hawa di kelas. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Sedangkan Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau menulis. Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air.
Pagi ini Lintang terlambat masuk kelas. Mereka tercengang mendengar ceritanya. Ternyata, di jalan ia dihadang oleh seekor buaya yang besar. Ia pun menunggu buaya itu pergi untuk bisa melewati jalan ke sekolah. Namun, buaya itu tak kunjung pergi. Lalu datang seorang laki-laki yang mendekati buaya tersebut dan seperti mengatakan sesuatu kepadanya, sehingga buaya itu pergi. Laki-laki itu bernama Bodenga. Tak ada yang tau asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bisa berbicara.
Pagi itu Bu Mus menantang murid-muridnya untuk mencongak. “13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!”tantang Bu Musdi depan kelas. Lalu mereka tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi. Tanpa memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik Lintang bersorak. “590” tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahkan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama. Ikal jengkel tapi kagum. Waktu itu mereka baru masuk hari pertama di kelas dua SD.
Bakat laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien disembunyikan. Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak
Di siang panas yang menggelak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga, hal ini sudah delapan belas kali terjadi, ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud. Setelah beberapa anak maju untuk membawakan lagu, waktu untuk azan zuhur tinggal lima menit. Lalu Bu Mus menyuruh Mahar untuk membawakan lagu. Mahar maju dan membawakan lagu yang berjudul Tennesse Walts karya Anne Muray. Namun Mahar tidak langsung menyanyi, tapi ia menatap temannya satu per satu. Setelah memandangi teman-temannya cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya, seperti seniman dari India. Lalu Mahar bercerita tentang lagunya. Dan sekarang dia menyanyi.  Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas, hinggap di daun-daun kecil linaria, lalu terbang  hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Mereka terbawa suasana melankolis karena Mahar  benar-benar  menghembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa.
Setelah tampil dengan lagu memukau Tennesse Walts mereke menemukan Mahar sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak Lintang. Sebaliknya, otak sebelah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Merka berdua membangun tonggak artistik daya tarik kelas mereka sehingga tak pernah membosankan. Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya intelegensia Lintang. Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.
Kini kesebelas anak “Laskar Pelangi”  itu mulai menginjak remaja. Memang menyenangkan, begitu pun yang sedang di rasakan Ikal. Pada saat ia membeli kapur dengan Syahdan di Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai di Toko Sinar Harapan. Namun, yang masuk ke toko hanyalah Ikal. Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu lama hampir pingsan di dalam toko bau itu., A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban seseorang yang selalu ia duga seorang gadis kecil yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu. Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti kandang burung merpati. Yang terlihat hanya tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Nona si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur sebelum Ikal sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di lantai. Ikal pun harus merangkak-rangkak, memunguti kapur yang jatuh di lantai, nona si kuku cantik itu juga membantunya. Tanpa sengaja mereka beradu pandang dekat sekali, dan suasana ketika menjadi hening. Saat itu Ikal merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia berhenti berdetak. Ikal terpana dan meraa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase.
Baru kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Karnaval 17 Agustus ini sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana. Bagi sebagaian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang menyenangkan. Tapi Mahar meyakinkan anak ”Laskar Pelangi” dengan konsep-konsepnya. Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat mereka berkobar, kepercayaan diri mereka meroket. Mereka akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis, dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kini tiba waktunya untuk mereka tampil. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah mereka lihat. Penonton semakin merengsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Dan kini waktunya pengumuman kemenangan. Mahar diarak warga Muhammadiyah ketika SD Muhammadiyah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari perahu, Ikal merasa sudah saatnya untuk tahu siapa nama nona si kuku cantik. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsungketika tangannya menjulur, Ikal menjadi bisu dan tuli. Maka ia menugaskan Syahdan untuk mencari informasi. Dan nama nona si kuku cantik itu adalah  A Ling dan sepupu A Kiong. Ikal selalu menitipkan surat dan puisi untuk A Ling kepada A Kiong.
Pagi itu Tuan Pos mengantarkan surat ke SD Muhammadiyah, ternyata surat itu untuk Ikal. Baru kali ini ia menerima kiriman surat. Ternyata surat bersampul biru itu dari A Ling. Ikal terpaku memandangi kertas itu, tangannya gemetar.
Senin pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona pucak gunung diikat pita rambut biru muda. Puisi itu untuk A Ling. Ikal dan Syahdan pun segera pergi ke Toko Sinar Harapan. Namun, apa yang terjadi? Ternyata A Ling sudah pergi ke Jakarta, ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri dan ia juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana. Ikal tertegun putus asa. Semangatnya terkulai lumpuh. A Ling titip salam dan sebuah kado untuk Ikal melalui A Miauw, ayahnya. Kal pun kembali ke                     SD Muhammadiyah. Pukul 9.05, perlahan-lahan muncul pesawat     Foker 28 melintas di atas lapangan sekolah. Ikal tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia pasti juga sedih meninggalkan Ikal sendiri. Ikal mengamati pesawat yang pergi membawa cinta pertamanya menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandangannya semkin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh, tapi karena air mata tergenang di pelupuk matanya.  Setelah peswat itu menghilang,Syahdan meninggalkan Ikal sendiri. Lalu, Ikal membuka ksdo dari A Ling.            Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan harian, lirik-lirik lagu dan ia menyalin semua puisi yang pernah Ikal berikan.
Pagi itu Ikal, Sahara dan Lintang mengikuti lomba kecerdasan yang mewakili SD Muhammadiyah. Mereka duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, dan dingin. Seluruh teman kelas dan guru-guru hadir untuk menyemangati mereka.  Waktu pun berlalu. Setelah peserta lomba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh juri, maka tibalah saatnya untuk penghitungan jumlah skor yang diperoleh oleh masing-masing grup.
 Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota “Laskar Pelangiitu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan    Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para “Laskar Pelangi”.
Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota “Laskar Pelangi” sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan beasiswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.



Liana Parquinda  ^.~

Diresensi oleh : 






save energy

Cute Rocking Baby Monkey

Liana Parquinda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates