Resensi Novel "Laskar Pelangi"
Judul : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Yogyakarta , PT Bentang Pustaka
Halaman
novel : 534
Tahun
terbit : 2005
Edisi : ke-3 , Juli 2007
Amanat : Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat
mengambil beberapa
pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-
benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak
pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak
mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak
menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh Lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.
benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak
pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak
mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak
menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh Lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.
Sinopsis
:
Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh
penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil
anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitong. Anak
orang-orang kecil ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan
dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan
dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern
pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu beda
dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka,
para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena
kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang
mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Pagi ini adalah hari pertama mereka masuk
sekolah di SD
Muhammadiyah. Namun murid yang datang hanya 9 orang. Mereka adalah Trapani, Syahdan,
Harun, Borek, Kucai,
A Kiong, Sahara, Lintang dan Ikal. Kejadian ini membuat Bu Mus resah
dan anak-anak menjadi cemas. Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan
sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh.
Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di
depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau
hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato
ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima menit
dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang
amat di cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak
Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini. Akhirnya, waktu sudah
pukul sebelas lewat lima menit dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Ketika
Pak Harfan mengucapkan Assalamu’alaikum seluruh
hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir
lapangan rumput luas halaman sekolah itu. Ternyata ada satu tambahan murid lagi
yang bernama Harun, sehingga SD Muhammadiyah
tidak jadi ditutup. Murid SD Muhammadiyah pun genap sepuluh anak.
Ibu Muslimah yang beberapa menit lalu sembap,
gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat
duduk kami. Umumnya Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan
kemiripan. Ikal dan Lintang sebangku karena mereka sama-sama berambut ikal.
Trapani duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Borek sebangku
dengan Kucai, karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Sahara
sebangku dengan Harun dan Syahdan sebangku dengan A Kiong.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah
kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang
guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak K.A. Harfan
Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan ibu guru muda, N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid , yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar
pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas
sekolah Depdikbud Sumatera Selatan karena kekurangan murid itu, terselamatkan
berkat seorang anak yang sepanjang masa
bersekolah tak pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran
tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah
bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya,
jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa
mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan
15 kg beras setiap bulan , sehingga para guru itu terpaksa menafkahi
keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan
sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi
setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh.
Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan
sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah
berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu. Dari waktu ke waktu
mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak marjinal tadi
agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan
pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari
kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani
menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang
ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu
mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak
Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi
kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu
sebagai para “Laskar Pelangi”.
Jumlah orang Tionghoa di kampung kami sekitar
sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, Hokian, Tongson, dan ada yang tak
tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada
siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan
khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitif yang
sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
sekali berada di Pulau Belitong. Laksana the Tower of Babel-yakni Menra Babel,
metafora tangga menuju surga yang ditegakkan bangsa Babylonia sebagai
perlambangan kemakmuran 5.600 tahun lalu. Orang Melayu yang merogohkan
tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan
mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong.
Kekayaan yang lain adalah PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang
memperkerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh
angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan
eksploitasinya tak terbatas.
Pulau Belitong yang makmur seperti
mengasingkan diri dari tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir
kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis
mengeksploitasi timah, kebudayaan yang bersahaja itu mulai hidup dalam
karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan
perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta.
Tak disangsikan, jika di zoom out, Pulau
Belitong adalah pulau terkaya di Indonesia. Inilah pulau tambang yang
menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat
dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran
rupiah uang berputar sangat cepat seperti mesin parut, dan miliaran dolar
devisa mengalir deras.
Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan
SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah
naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir
melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Berbeda sekali dengan
sekolah kampung. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah
perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.
Sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya
sendiri.
Filicium
decipiens bias ditanam botanikus
untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk dauunya cekung
sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Lebih dari itu,
berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri. Konfigurasi ini
menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik yang diciptakan untuk selalu
menjaga jarak dengan manusia. Dengan adanya pohon-pohon itu, menyebabkan
terjadinya interaksi antar anak-anak “Laskar
Pelangi” dengan burung ungkut-ungkut.
Lintang dan Syahdan adalah anak seorang
nelayan yang miskin. A Kiong , siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir
di SD kampung ini. Ia memang
memiliki penampilan akan ditolak kemana-mana. Mukanya lebar dan berbentuk
kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang
dan ia hampir tidak punya alis. Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi
yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun
jauh. Namun Kucai adalah orang paling optimis dan memiliki network yang luas.
Trapani adalah maskot kelas. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia
sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam,
otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat tiga. Lalu ad Sahara,
satu-satunya hawa di kelas. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung.
Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Sedangkan Harun memiliki hobi
mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran
membaca atau menulis. Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah
murid biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air.
Pagi ini Lintang terlambat masuk kelas.
Mereka tercengang mendengar ceritanya. Ternyata, di jalan ia dihadang oleh
seekor buaya yang besar. Ia pun menunggu buaya itu pergi untuk bisa melewati
jalan ke sekolah. Namun, buaya itu tak kunjung pergi. Lalu datang seorang laki-laki
yang mendekati buaya tersebut dan seperti mengatakan sesuatu kepadanya,
sehingga buaya itu pergi. Laki-laki itu bernama Bodenga. Tak ada yang tau asal
usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bisa berbicara.
Pagi itu Bu Mus menantang murid-muridnya untuk
mencongak. “13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!”tantang Bu Musdi depan kelas.
Lalu mereka tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi. Tanpa
memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya
memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik Lintang bersorak. “590” tak
sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi
potongan lidi, bahkan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama.
Ikal jengkel tapi kagum. Waktu itu mereka baru masuk hari pertama di kelas dua
SD.
Bakat laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat
di mana mayat-mayat alien disembunyikan.
Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia.
Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia
tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus
ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak
pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi
lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak
Di siang panas yang menggelak ini, ketika
pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin Muhammadiyah,
kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus
meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti
diduga, hal ini sudah delapan belas kali terjadi, ia akan membawakan lagu yang
sama yaitu Berkibarlah Benderaku
karya Ibu Sud. Setelah beberapa anak maju untuk membawakan lagu, waktu untuk
azan zuhur tinggal lima menit. Lalu Bu Mus menyuruh Mahar untuk membawakan
lagu. Mahar maju dan membawakan lagu yang berjudul Tennesse Walts karya Anne Muray. Namun Mahar tidak langsung
menyanyi, tapi ia menatap temannya satu per satu. Setelah memandangi
teman-temannya cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil
tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi
hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya, seperti
seniman dari India. Lalu Mahar bercerita tentang lagunya. Dan sekarang dia
menyanyi. Syair demi syair lagu itu
merambati dinding-dinding papan tua kelas, hinggap di daun-daun kecil linaria, lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke
utara. Mereka terbawa suasana melankolis karena Mahar benar-benar
menghembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak
terasa.
Setelah tampil dengan lagu memukau Tennesse Walts mereke menemukan Mahar
sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas
yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak Lintang. Sebaliknya, otak
sebelah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Merka berdua membangun tonggak
artistik daya tarik kelas mereka sehingga tak pernah membosankan. Jika Lintang
memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan
bakat seni selevel dengan tingginya intelegensia Lintang. Lintang dan Mahar
seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas. Keduanya penuh
inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.
Kini kesebelas anak “Laskar Pelangi” itu mulai
menginjak remaja. Memang menyenangkan, begitu pun yang sedang di rasakan Ikal.
Pada saat ia membeli kapur dengan Syahdan di Toko Sinar Harapan, pemasok kapur
satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Setelah menempuh perjalanan
yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai di Toko Sinar Harapan. Namun, yang
masuk ke toko hanyalah Ikal. Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama.
Setelah menunggu lama hampir pingsan di dalam toko bau itu., A Miauw akan
berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari
ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban seseorang yang selalu ia duga
seorang gadis kecil yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti
kicauan burung murai batu. Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil
persegi empat seperti kandang burung merpati. Yang terlihat hanya tangan halus,
sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang
itu. Nona si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur sebelum
Ikal sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di lantai.
Ikal pun harus merangkak-rangkak, memunguti kapur yang jatuh di lantai, nona si
kuku cantik itu juga membantunya. Tanpa sengaja mereka beradu pandang dekat
sekali, dan suasana ketika menjadi hening. Saat itu Ikal merasa jarum detik
seluruh jam yang ada di dunia berhenti berdetak. Ikal terpana dan meraa seperti
melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase.
Baru kali ini Mahar menjadi penata artistik
karnaval, dan karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat
penting, karnaval 17 Agustus. Karnaval 17 Agustus ini sangat potensial untuk
meningkatkan gengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana. Bagi sebagaian
warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang menyenangkan. Tapi
Mahar meyakinkan anak ”Laskar Pelangi” dengan
konsep-konsepnya. Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi
satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat mereka berkobar,
kepercayaan diri mereka meroket. Mereka akan menampilkan sebuah tarian
spektakuler yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku
Masai yang eksotis, dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti
festival Rio. Kini tiba waktunya untuk mereka tampil. Penonton terbelalak
menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga. Mereka
berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius oleh
irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Penonton semakin merengsek ke depan dan mulai terpukau pada
tarian etnik Afrika yang eksotis. Dan kini waktunya pengumuman kemenangan. Mahar
diarak warga Muhammadiyah ketika SD Muhammadiyah menerima trofi bergengsi Penampil
Seni Terbaik tahun ini.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali
orang-orang bersarung turun dari perahu, Ikal merasa sudah saatnya untuk tahu
siapa nama nona si kuku cantik. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari
mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsungketika tangannya menjulur, Ikal
menjadi bisu dan tuli. Maka ia menugaskan Syahdan untuk mencari informasi. Dan
nama nona si kuku cantik itu adalah A
Ling dan sepupu A Kiong. Ikal selalu menitipkan surat dan puisi untuk A Ling
kepada A Kiong.
Pagi itu Tuan Pos mengantarkan surat ke SD
Muhammadiyah, ternyata surat itu untuk Ikal. Baru kali ini ia menerima kiriman
surat. Ternyata surat bersampul biru itu dari A Ling. Ikal terpaku memandangi
kertas itu, tangannya gemetar.
Senin pagi yang cerah. Sepucuk puisi
dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat
dan kembang jarum merah primadona pucak gunung diikat pita rambut biru muda.
Puisi itu untuk A Ling. Ikal dan Syahdan pun segera pergi ke Toko Sinar Harapan.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata A Ling sudah pergi ke Jakarta, ia harus
menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri dan ia juga bisa mendapat sekolah
yang bagus di sana. Ikal tertegun putus asa. Semangatnya terkulai lumpuh. A
Ling titip salam dan sebuah kado untuk Ikal melalui A Miauw, ayahnya. Kal pun
kembali ke SD
Muhammadiyah. Pukul 9.05, perlahan-lahan muncul pesawat Foker 28 melintas di atas lapangan sekolah.
Ikal tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia pasti juga sedih meninggalkan
Ikal sendiri. Ikal mengamati pesawat yang pergi membawa cinta pertamanya
menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu
semakin lama semakin kecil dan pandangannya semkin kabur, bukan karena pesawat
itu semakin jauh, tapi karena air mata tergenang di pelupuk matanya. Setelah peswat itu menghilang,Syahdan
meninggalkan Ikal sendiri. Lalu, Ikal membuka ksdo dari A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku
berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara
karya Herriot dan sebuah diary yang
memuat berbagai catatan harian, lirik-lirik lagu dan ia menyalin semua puisi
yang pernah Ikal berikan.
Pagi itu Ikal, Sahara dan Lintang mengikuti
lomba kecerdasan yang mewakili SD Muhammadiyah. Mereka duduk menghadapi sebuah
meja mahoni yang besar, panjang, dan dingin. Seluruh teman kelas dan guru-guru
hadir untuk menyemangati mereka. Waktu
pun berlalu. Setelah peserta lomba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh juri, maka tibalah saatnya untuk penghitungan jumlah skor yang
diperoleh oleh masing-masing grup.
Keajaiban
terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi
mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai
puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan
Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN
dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol
sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang
paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling
jenius anggota
“Laskar Pelangi” itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan
menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus
menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong
kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar
sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah
menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun
90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak
bisa membiayai diri sendiri tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan
ketekunan yang diajarkan Pak Harfan
dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para “Laskar
Pelangi”.
Akhirnya kedua guru itu
bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota “Laskar Pelangi” sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang
menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi
nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan beasiswa
international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan
lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di
Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang
ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan
belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera
sana.
Liana Parquinda ^.~
|
Diresensi oleh :